Kenaikan BM Impor CBU Ganggu Iklim Investasi

Jakarta, KompasOtomotif - Keputusan pemerintah Indonesia untuk membendung impor kendaraan bermotor secara utuh (completely built up/CBU) dengan menaikan pajak bea masuk (impor duty) dinilai kalangan pengusaha otomotif terlalu gegabah. 

Kebijakan baru ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 132 Tahun 2015 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor. Regulasi ini ditandatangani Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, 8 Juli 2015 dan diundangkan sehari setelahnya (9 Juli 2015). 

Di dalamnya, ditetapkan kalau impor mobil CBU dari luar negara mitra yang memiliki kerja sama ekonomi dengan Indonesia atau ASEAN, dinaikkan tarif bea masuk (BM) menjadi 50 persen dari sebelumnya hanya 40 persen. Regulasi ini juga efektif berlaku dua pekan setelah resmi diundangkan, artinya sudah efektif mulai Kamis, 23 Juli 2015.

Sontak kebijakan baru ini mengusik ketenangan pebisnis otomotif, salah satunya Muhammad Al Abdullah, Presiden Direktur Garansindo Inter Global, agen tunggal pemegang merek (ATPM) Fiat-Chrysler di Indonesia. Menurut Memet, begitu ia akrab disapa, regulasi ini bersifat terburu-buru dan tidak tepat sasaran. 

"Kalau tujuan pemerintah mau menyelamatkan devisa, caranya bukan dengan menekan pebisnis seperti ini. Regulasi ini sangat tidak tepat sasaran," ujar Memet kepada KompasOtomotif, Senin (27/7/2015) dini hari.

Keinginan pemerintah sudah disampaikan Menteri Perindustrian Saleh Husin yang berkeinginan untuk bisa mengurangi laju impor produk-produk industri, salah satunya dari otomotif. Menurut Saleh, beberapa ATPM yang merakit lokal mobil di Indonesia juga masih mengandalkan impor untuk memasok model lain sesuai kebutuhan pasar.

"Justru di kala pasar luar negeri maupun di dalam negeri sedang lesu, maka impor harus dikurangi dan devisa harus dihemat," ucap Saleh, menjelaskan. 

Bebas Pajak

Menurut Memet, mayoritas mobil-mobil impor CBU yang dipasarkan di Indonesia bebas pajak berkat perjanjian kerja sama ekonomi di lingkup ASEAN. Justru dengan membebani pajak tambahan pada pebisnis minoritas akan memperlemah pasar mobil nasional yang lagi terpukul tahun ini.

"Sekarang saja pasar (mobil) nasional sudah anjlok 23 persen, mau ditambah lagi beban impor duty jadi 50 persen, kan aneh. Asal tahu saja, 90 persen impor (mobil) CBU yang ada di Indonesia itu memanfaatkan AFTA (ASEAN Free Trade Area), alias tidak bayar pajak, nol persen. Jadi kalau tujuannya menyelamatkan devisa tidak tepat," ujar Memet menjelaskan.

Hampir seluruh merek mobil terlaris yang dipasarkan di Indonesia, punya pabrik di Thailand. Lewat FTA, impor mobil-mobil ini bebas pajak, antara lain Toyota, Nissan, Honda, Suzuki, Mazda, dan Ford. Tiga merek pertama memang punya pabrik perakitan di Indonesia, namun Mazda dan Ford hanya impor, nyaris tanpa investasi aset.

Tanpa Kompromi

Selain itu, Memet juga menyayangkan langkah pemerintah Indonesia yang terlalu tergesa-gesa mengeluarkan kebijakan. Sebagai bagian dari pebisnis otomotif, Memet merasa tidak dihubungi pemerintah dalam mengawal kebijakan baru ini. 

"Regulasi ini sifatnya mendadak, tidak ada diskusi dengan kami. Kami pengusaha ini mitra pemerintah, seharusnya diajak diskusi bersama. Kalau mau menyelamatkan devisa bisa dibicarakan sama-sama sebenarnya," kata Memet, mengeluh.

Terakhir, langkah pemerintah menerbitkan regulasi ini dianggap semakin mengancam iklim investasi khususnya di sektor otomotif. Menurut Memet, pemerintah Indonesia tidak pernah memiliki kebijakan yang steady. Mengakibatkan para prinsipal otomotif global berfikir ulang untuk menanamkan investasinya di Indonesia.

Padahal, untuk merencanakan strategi, satu merek akan merancang peta bisnis dalam jangka waktu satu, dua, tiga, sampai lima tahun ke depan. Jika ada peraturan yang berubah, rancangan ini bisa patah dan terancam akan hilang.

"Saya dengar sendiri dari prinsipal, sudah pasar anjlok seperti ini, ditambah lagi regulasi baru yang membebani, ini aneh. Di Thailand mau ada kudeta, sampai perang sipil saja, pemerintahnya tidak mengubah-ubah kebijakan, nah Indonesia, malah sebaliknya. Kalau dibiarkan, sulit investasi mau masuk, sudah banyak prinsipal yang mengalihkan investasinya dari Indonesia ke negara lain karena peraturan yang selalu berubah-ubah," ucap Memet.

Sumber : http://otomotif.kompas.com/read/2015/07/27/092800115/Kenaikan.BM.Impor.CBU.Ganggu.Iklim.Investasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Postingan Populer

Diberdayakan oleh Blogger.